Rabu, 03 Oktober 2012

Konseling Karir

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Kedudukan Konselor sebagai pendidik profesional sebagaimana diatur di dalam pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berimplikasi pada program dan implementasi pendidikan profesional konselor di tanah air yang mampu menghasilkan konselor profesional, yaitu sosok konselor yang menguasai standar kompetensi konselor, di samping memenuhi kualifikasi akademik yang dipersyaratkan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

Program pendidikan profesional konselor saat ini yang penyelenggaraanya diawali dengan program Sarjana (S-1) yang belum terintegrasi dengan penyelenggaraan pendidikan profesi konselor (PPK) oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) versi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), dan PPG (Pendidikan Profesi Guru) versi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, mengakibatkan laju perkembangan profesi bimbingan dan konseling di tanah air, khususnya mengenai penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) konselor profesional, mengalami kendala yang serius. Berdasarkan pasal pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008, bahwa Penyelenggara Pendidikan yang satuan Pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi dan kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini diberlakukan. Karena peraturan Menteri ini diberlakukan sejak 11 Juni 2008, maka terhitung tanggal 11 Juni 2013 mendatang, semua lembaga pendidikan SMP, SMA, SMK dan yang sederajat wajib memiliki konselor.




Konselor adalah pendidik profesional yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan bimbingan dan konseling, yang dihasilkan oleh pendidikan profesional konselor. Menurut naskah Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Pelayanan .

konselor berperan sebagai pengampu ahli pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan peserta didik sebagai konseli.
Pelayanan itu meliputi:
(1)      pelayanan informasi,

 (2)    pelayanan orientasi,
 (3)    pelayanan penempatan dan penyaluran,
 (4)    pelayanan konseling individual,
 (5)    pelayanan konseling kelompok,
 (6)    pelayanan bimbingan kelompok,
 (7)    pelayanan konsultasi,
 (8)    pelayanan mediasi,
 (9)    pelayanan instrumentasi bimbingan dan konseling,
 (10)  pelayanan himpunan data,
 (11)  pelayanan konferensi kasus,
 (12)  pelayanan kunjungan rumah, dan
 (13)  pelayanan referal (alih tangan).


Ketiga belas pelayanan tersebut meliputi dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, bimbingan karier, dan bimbingan pengembangan budi pekerti. Menurut buku penataan pendidikan profesional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal (Depdiknas, 2007) pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling sebagaimana di atas, dikelompokkan ke dalam empat komponen pelayanan, yaitu:
(1)   komponen pelayanan dasar,
(2)   komponen pelayanan responsif,
(3)   komponen pelayanan perencanaan individual, dan
(4)   komponen pelayanan dukungan sistem.



Komponen pelayanan dasar diberikan kepada konseli untuk memfasilitasi konseli agar ia dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya secara maksimal melalui pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat klasikal, seperti: pelayanan informasi, pelayanan orientasi, pelayanan bimbingan kelompok, dan pelayanan pengumpulan data (penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling),
 komponen pelayanan responsif diberikan kepada konseli untuk membantuk mereka agar mampu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah emosinya (depresi sedang dan ringan, stres sedang dan ringan, konflik, kecewa, frustrasi, kecemasan, dan ketergantungan/tidak percaya diri), dimana masalah-masalah emosi tersebut bila tidak segera ditangani, sangat menganggu pelaksanaan tugas-tugas perkembangan konseli, sehingga ia mengalami kemunduran (regresi) dalam perkembangannya. Konseli yang mengalami masalah-masalah emosi, biasanya menunjukkan gejala-gejala sikap dan perilaku yang menghambat aktivitas belajar konseli, seperti kehilangan motivasi dan minat dalam belajar, mengalami penurunan daya retensi (kemampuan mengingat), dan daya tahan stresnya juga mengalami penurunan, sehingga mereka kehilangan produktivitas.

Komponen pelayanan perencanaan individual, dimaksudkan untuk memfasilitasi konseli dalam membuat rencana masa depan yang sesuai dengan potensi konseli serta peluang yang tersedia di masyarakat. Rencana masa depan di sini juga termasuk bagaimana konseli bisa melakukan pilihan karier yang tepat, sesuai dengan bakat, minat serta peluang yang ada. Konseli yang normal, akan mampu membuat pilihan kariernya, yang diwujudkan dengan kemampuannya dalam memilih Jurusan/Program.
 model Pendidikan Profesional Konselor Yang Digagas dan Tantangan Globalisasi

1.      Kondisi Saat Ini
Kurikulum pendidikan S-1 Bimbingan dan Konseling yang dikembangkan berdasarkan Kepmendiknas Nomor 232/U/2000 dan Nomor 045/U/2002 yang mengacu kepada konsep pendidikan tinggi abad XXI UNESCO, yang semula disusun dan ditetapkan oleh pemerintah lewat sebuah Konsorsium (Kurikulum Nasional), diubah menjadi kurikulum inti yang disusun oleh perguruan tinggi bersama dengan pemangku kepentingan dan kalangan profesi, dan ditetapkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Berdasarkan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

2.      Pendidikan Profesional Konselor

Untuk bisa memenuhi standar kompetensi konselor tersebut di atas, diperlukan model pendidikan profesional konselor yang terintegrasi, artinya penyelenggaraan program pendidikan S-1 Bimbingan dan Konseling terintegrasi dengan program pendidikan profesi konselor (PPK). LPTK yang diberikan izin menyelenggarakan pendidikan S-1 Bimbingan dan Konseling dan memiliki peringkat Akreditasi minimal B dilakukan evaluasi, bila layak dari aspek ketenagaan, infrastruktur, dan manajemen pengelolaan secara langsung diberikan wewenang untuk menyelenggarakan PPK. Dengan demikian, para guru pembimbing (guru BK) di sekolah-sekolah yang memiliki kualifikasi akademik S-1 Bimbingan dan Konseling dapat mengikuti PPK di LPTK 
3.      Tantangan Globalisasi
Dalam era globalisasi dewasa ini, perhatian khusus dalam pendidikan di arahkan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu sosok SDM yang menguasai IPTEKS dan berkarakter. Begitu juga dalam profesi Bimbingan dan Konseling, saat ini dan ke depan pendidikan profesional konselor harus mampu menghasilkan sosok konselor yang berkompeten, dan berkarakter sebagai insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbakat, berminat, memiliki panggilan jiwa dan idealisme, bertanggung jawab atas tugasnya, dan mampu mengembangkan profesinya sepanjang hayat.
Konselor profesional di samping memiliki kompetensi yang diwajibkan, harus mampu mengisi dan memanfaatkan teknologi informasi sebagai bagian dari profesinya. Mereka mampu melakukan rekayasa untuk memajukan pelayanan bimbingan dan konseling dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pelayanan bimbingan dan konseling saat ini dan ke depan sudah saatnya berbasis teknologi informasi (TI) yang bisa dijangkau masyarakat luas. Wickwire dalam Johnson and Johnson (2002) menyatakan bahwa konselor masa depan adalah sosok yang memiliki visi berbasis pelayanan, menguasai sistem tentang;
(1)   program,
(2)   pelayanan,
(3)   isi,
(4)   proses,
(5)   prosedur,
(6)   asesmen,
(7)   diagnostik,
(8)   evaluasi yang berdaur ulang, baik evaluasi pada tengah dan akhir pelayanan, dan
(9)   memiliki pemahaman tentang teknologi tinggi untuk menunjang pelayanan bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian
Konselor adalah pendidik profesional yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan bimbingan dan konseling, yang dihasilkan oleh pendidikan profesional konselor. Menurut naskah Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Pelayanan .
konselor berperan sebagai pengampu ahli pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan peserta didik sebagai konseli.
·         Pelayanan itu meliputi:
(1)      pelayanan informasi,
(2)      pelayanan orientasi,
(3)      pelayanan penempatan dan penyaluran,
(4)      pelayanan konseling individual,
(5)      pelayanan konseling kelompok,
(6)      pelayanan bimbingan kelompok,
(7)      pelayanan konsultasi,
(8)      pelayanan mediasi,
(9)      pelayanan instrumentasi bimbingan dan konseling,
(10)  pelayanan himpunan data,
(11)   pelayanan konferensi kasus,
(12)  pelayanan kunjungan rumah, dan
(13)  pelayanan referal (alih tangan).

Ketiga belas pelayanan tersebut meliputi dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, bimbingan karier, dan bimbingan pengembangan budi pekerti. Menurut buku penataan pendidikan profesional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal (Depdiknas, 2007) pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling sebagaimana di atas, dikelompokkan ke dalam empat komponen pelayanan, yaitu:
(1) komponen pelayanan dasar,
(2) komponen pelayanan responsif,
(3) komponen pelayanan perencanaan individual, dan
(4) komponen pelayanan dukungan sistem.
Komponen pelayanan dasar diberikan kepada konseli untuk memfasilitasi konseli agar ia dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya secara maksimal melalui pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat klasikal, seperti: pelayanan informasi, pelayanan orientasi, pelayanan bimbingan kelompok, dan pelayanan pengumpulan data (penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling),

 komponen pelayanan responsif diberikan kepada konseli untuk membantuk mereka agar mampu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah emosinya (depresi sedang dan ringan, stres sedang dan ringan, konflik, kecewa, frustrasi, kecemasan, dan ketergantungan/tidak percaya diri), dimana masalah-masalah emosi tersebut bila tidak segera ditangani, sangat menganggu pelaksanaan tugas-tugas perkembangan konseli, sehingga ia mengalami kemunduran (regresi) dalam perkembangannya. Konseli yang mengalami masalah-masalah emosi, biasanya menunjukkan gejala-gejala sikap dan perilaku yang menghambat aktivitas belajar konseli, seperti kehilangan motivasi dan minat dalam belajar, mengalami penurunan daya retensi (kemampuan mengingat), dan daya tahan stresnya juga mengalami penurunan, sehingga mereka kehilangan produktivitas.

Komponen pelayanan perencanaan individual, dimaksudkan untuk memfasilitasi konseli dalam membuat rencana masa depan yang sesuai dengan potensi konseli serta peluang yang tersedia di masyarakat. Rencana masa depan di sini juga termasuk bagaimana konseli bisa melakukan pilihan karier yang tepat, sesuai dengan bakat, minat serta peluang yang ada. Konseli yang normal, akan mampu membuat pilihan kariernya, yang diwujudkan dengan kemampuannya dalam memilih Jurusan/Program.

B.       TANTANGAN BAGI KONSELOR SEKOLAH DAN PROGRAM KONSELING SEKOLAH

Program konseling sekolah direncanakan dan dilaksanakan dalam jaringn sekolah yang menetap dalam masyarakat. Anggota masyarakat mempunyai pandangan berbeda tentang konseling di sekolah. Akibatnya, para konselor sekolahpun sering mengalami keruwetan dan tuntutan-tuntutan yang beragam dan begitu kompleks. Tantangan yang sering dihadapi oleh konselor sekolah adalah pada perdebatan yang berkepanjangan tentang definisi peran mereka di sekolah. Dalam menggabungkan ketepatan program dengan peranannya, konselor sekolah dituntut untuk:

1.      Memberikan pelayanan konseling individu dan konseling dalam kelompok kecil.
2.      Mmemberikan intervensi bimbingan ruang kelas.
3.      Konsultasi dengan orang tua ,guru, pengurus, dan wakil perantara kelompok.
4.      Memberi dukungan pada seluruh siswa untuk meningkatkan pengalaman pendidikan dan hasil.
5.      Membangun hubungan kerjasama dan tim,baik di dalam maupun luar sekolah.



6.      Menjadi anggota dalam kepemimpinan sekolah dan kelompok pembuat keputusan.
7.      Memberi layanan secara perorangan, terfokus dan intervensi intensif bagi siswa bermasalah.
8.      Menjadi ahli pembangunan dalam tata pengaturan sekolah.
9.      Menjadi ahli kesehatan mental dalam tata pengaturan sekolah.
10.       Menyediakan layanan konseling bagi keluarga.
11.        Mengkoordinasi program-program sekolah, termasuk memberikan bantuan yang setara, melakukan mediasi, penyelesaian konflik, mencegah kekerasan, pendidikan karakter, dan program pembinaan guru.
12.       Pencegahan tindakan bunuh diri, kehamilan, dropout, penggunaan narkoba, dan penyimpangan moral.
13.       Mempertahankan mutu-mutu yang diperlukan dalam profesionalitas dalam semua area, termasuk untuk menjamin kualitas semua program.

Setiap konselor ideal mempunyai harapan terhadap siswa. Konselor sekolah
mengesampingkan tekanan-tekanan siswa untuk menunjukkan hubungan dan fungsi-fungsi di luar dugaan.
C.      PENINGKATAN POPULASI SISWA YANG BERAGAM
Tantangan kedua yang harus dihadapi konselor sekolah adalah peningkatan populasi siswa yang beragam di sekolah. Perubahan demografis masyarakat secara luas telah dicatat. Sebagai perubahan yang nyata dalam pengaturan sekolah, konselor di perbolehkan menggunakan praktek dan teori kejiwaan dan pendidikan. Pengembangan diperluas, dari pandangan Eurocentrik dengan tidak memperbolehkan memperlihatkan dunia luar lebih banyak, atau yang paling baik adalah dengan melakukan pendekatan pada siswa dan keluarganya. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan mutu persoalan ini adalah, bahwa penyimpangan di sekolah hari-hari ini tidaklah terbatas pada suku bangsa manapun. Dalam kenyataannya, penyimpangan dapat digunakan untuk menggambarkan beberapa perbedaan-perbedaan dalam polatingkah laku, orientasi sikap, dan system-sistem nilai dari setiap siswa (Lee, 2001).
Konselor memerlukan kecakapan yang lebih dalam melayani siswa secara efektif. Seperti yang diangkat dari Asosiasi Pengembangan dan Konseling Multikultural. Mereka menunjukkan kemampuan Konselor dalam tiga dimensi konseling, yaitu: Kepercayaan, Pengetahuan, Keterampilan yang lebih lanjut diselidiki dalam tiga karakteristik konselor, yaitu Kesadaran akan keahlian masing-masing konselor dan nilai-nilai, Memahami berbagai perbedaan kebudayaan tiap klien, Mengembangkan teknik-teknik dan strategi dalam proses konseling. Hal ini memungkinkan konselor-konselor sekolah merasa frekuensi pertemuan mereka dengan siswa di sekolah tidaklah cukup.
D.      MENINGKATNYA KETERGANTUNGAN TERHADAP TEKNOLOGI
Tantangan ketiga bagi konselor sekolah adalah adanya peningkatan di bidang teknologi. Kemajuan teknologi memberikan kesempatan yang luas untuk membuat dunia kerja berjalan dengan efektif dan efisien dan bagi konseling sekolah dapat mengambil keuntungan pada bidang teknologi dalam pelayanan dan pengembangan program konseling sekolah agar lebih baik (Baker & Geler, 2000). Computer dan internet memiliki potensial yang digunakan untuk membantu macam-macam tugas konseling. Sebagian besar konselor yang mempunyai kemampuan teknologi yang terbatas,hanya menggunakan komputer untuk tugas yang dasar seperti membuat jadwal dan memproses data-data siswa.
Tidak terdapat cukup bukti untuk memahami secara penuh bagaimana teknologi mempengaruhi hubungan antara konselor dan klien, hingga diketahui lebih lanjut, teknologi yang seharusnya diterapkan dalam situasi-situasi yang membutuhkan perhatian (Sampson, 2000). Perhatian lainnya, bahwa konselor membolehkan siswa untuk mengeksplorasi karir dan penilaian diri yang terarah tanpa pengawasan atau perintah yang tepat (Sampson, 2000).
Kerahasiaan merupakan masalah penting lainnya yang muncul karena ketergantungan pada teknologi.
Secara konsep, program-program bimbingan sekolah secara historis berkaitan dengan hasil-hasil siswa yang diinginkan (Lapan, 2001). Saat ini, para pegawai tata usaha, dan para anggota dewan meminta peningkatan bukti yang mendukung keefektifan dari program-program yang didanai, para konselor tidak kebal akan itu. Sebagai gantinya, mereka diminta untuk menunjukkan data yang menunjukkan hasil-hasil yang positif yang berhubungan dengan misi sekolah, termasuk informasi yang berhubungan dengan kelas, pola-pola pembelajaran, nilai-nilai tes, kehadiran, dan acuan-acuan perilaku.
Lapan (2001) mengemukakan bahwa “perkembangan berkesinambungan profesi tergantung
pada kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan”, antara lain:
1.      Bagaimana peran, kewajiban, fungsi-fungsi, dan campur tangan konselor dapat diubah lebih besar dan berpengaruh pada semua siswa?
2.      Bagaimana waktu konselor dapat didistribusikan kembali pada tugas untuk memaksimalkan keuntungan bagi semua siswa?

3.      Bagaimana suatu program dapat menuju arah yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhn masing-masing sekolah?
4.      Apakah program dari pusat dapat mengesampingkan misi dari masing-masing sekolah?
5.      Bagaimana agar hubungan antara personal sekolah, orangtua, dan pemimpin masyarakat dapat lebih baik?
6.      Bagaimana para konselor bisa lebih baik dalam mendukung program-program mereka dengan membuat kebijakan lokal dan nasional?
Ini adalah pertanyaan kompleks yang menantang konselor sekolah untuk mengembangkan rencana mereka sendiri dan pertanggungjawaban program mereka, tidak hanya untuk memuaskan konsumen, tapi juga untuk mengefektifkan pertemuan kebutuhan dari kebutuhan murid serta memfasilitasi belajar.

MENJADIKAN TANTANGAN MENJADI SEBUAH KESEMPATAN

Ketika sebuah tantangan tidak memberikan ketuntasan, hal ini menunjukkan kerumitan masalah yang dihadapi oleh konselor sekolah di abad ke 21. Dalam kenyataannya, sejarah bimbingan sekolah memberikan latar belakang yang bermanfaat bagi program yang kolaboratif, berkembang, dan menyeluruh saat ini.
Memiliki kerangka kerja yang terstruktur dalam menempatkan, mengantisipasi dan menggabungkan perubahan juga merupakan poin-poin terhadap potensi masa depan yang lebih baik (Gysbers & Henderson, 2001). Harapan ini digaungkan dalam editorial Konseling Sekolah Profesional baru-baru ini (Hughey, 2001) yang dinyatakan sebagai berikut: panduan dan program-program bimbingan yang menyeluruh telah memberikan sebuah kerangka kerja yang lebih jelas dari program-program tersebut.
Memenuhi tantangan tersebut, bimbingan sekolah memiliki kesempatan untuk meyakinkan konselor sekolah agar mendapatkan keahlian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para siswa, membangun identitas profesional yang lebih kuat, melaksanakan program bimbingan yang lebih tepat, dan menjadi lebih bertanggung jawab terhadap program-program yang telah mereka buat.
Perubahan tantangan tersebut menjadi kesempatan agar konselor, pendidik, dan pengawas
konselor di sekolah bekerjasama untuk:
Menentukan peranan dan wilayah-wilayah yang tepat pada fokus program
Merancang dan ikut terlibat dalam perkembangan professional
MenunjukkanØ hasil pertanggungjawaban


MENENTUKAN PERAN DAN WILAYAH YANG TEPAT DENGAN TUJUAN PROGRAM
Konselor sekolah yang profesional memiliki banyak sejarah dalam mengenali perubahan-perubahan sosial, perubahan kebutuhan, dan mengubah layanan untuk memenuhi kebutuhan. Konselor sekolah harus siap untuk beradaptasi dengan prioritas dan campur tangan mereka guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tengah berubah, pada saat yang sama mereka
harus menjaga tujuan dan misi mereka (Herr, 2001).
Konselor sekolah serta guru bimbingan dan konseling harus bekerja secara kolaboratif agar bisa mengidentifikasikan dan menanggapi kebutuhan siswa secara efektif. Program bimbingan dan konseling bertumpu pada keikutsertaan proaktif yang berhubungan dengan pendekatan kolaboratif yang berkembang, dan menyeluruh. Kerangka kerja tersebut cukup luas untuk mengantisipasi perubahan. Hal ini cukup fleksibel untuk menggabungkan beragam alasan-alasan, anggapan, kegiatan, langkah-langkah, dan penggunaan waktu bimbingan (Gysbers dan Henderson,2001).
Standar Nasional Program-program Bimbingan Sekolah (Campbell & Dahir, 1997) memperkuat kedudukan bahwa penasihat sekolah memiliki kesepakatan yang diterima secara luas tentang prioritas-prioritas programnya. Konselor sekolah membentuk program-program mereka selama abad 21. Akan banyak campur tangan dari komponen-komponen penting yang dapat diterapkan. Hal ini akan mendorong pada situasi kritis, konselor sekolah diharapkan menyadari bahwa mereka tidak bisa melakukan semuanya dan mereka hanya bisa melakukan sedikit hal ketika sendirian. Kerjasama bukanlah hal yang baru bagi konselor sekolah, tetapi hal ini tampak sangat tidak terfasilitasi. Bimbingan sekolah, seperti halnya pelayanan masyarakat profesional lainnya, dipersiapkan secara tertutup, dengan penekanan pada perbedaan-perbedaan antara pekerjaan-pekerjaan dan kekhususan-kekhususan (Osborne & Collison, 1998).
Konselor sekolah tidak dapat bekerja sendirian. Saat ini di sekolah, terdapat cukup pembimbing sekolah untuk menangani kebutuhan-kebutuhan para siswa (Walsh dkk, 1999), dan tidak ada alasan untuk menganggap kecenderungan ini akan berubah dalam waktu dekat. Para guru pembimbing dapat berhubungan dengan personel sekolah lainnya, guru, orang tua, dan penasihat serta pemimpin masyarakat sehingga mereka bisa menggabungkan usaha-usaha
mereka dan memenuhi kebutuhan para siswa secara kolektif.


PENGEMBANGAN PROFESI

Perkembangan profesionalitas bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, dan ini tidak kita dapatkan di jenjang pendidikan,faktanya pendidikan hanya sebuah awal. Menjadi konselor sekolah yang baik membutuhkan proses panjang,dan prose situ masih terus berlanjut meski telah menyelesaikan pendidikan formal. sebagai profesional yang mengidentifikasi pekerjaan mereka, meskipun demikian terdapat sedikit fokus pada perkembangan profesional setelah lulus baik dalam kepustakaan profesional atau dalam kebijakan (Brott & Myers, 1999).
Perkembangan keahlian profesional konselor sekolah adalah sebuah pembelajaran tentang keterampilan khusus yang nantinya menambah keefektifan seorang konselor dalam
menangani konseli.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Peran pendidikan dalam rangka mencerdaskan bangsa sangat penting dan memiliki posisi yang strategis. Tidak ada suatu bangsa di dunia yang tidak membutuhkan pendidikan. Begitu juga bangsa Indonesia yang masih berstatus sebagai negara berkembang, saat ini dan ke depan membutuhkan sistem pendidikan yang berkualitas dan bermartabat. Salah satu aspek yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu adalah terpenuhinya tenaga pendidik yang berkompeten dan berkarakter. Konselor sebagai pendidik profesional, saat ini dan ke depan memiliki peran yang sangat penting dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Konselor sebagai pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan konseli turut perperan dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk menjadikan konselor profesional yang mampu memberikan pelayanan bimbingan dan konseling yang bermutu dan bermartabat baik pada jalur pendidikan formal maupun di masyarakat, diperlukan pendidikan profesional konselor yang bermutu pula dengan dukungan pemerintah, organisasi profesi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) dan masyarakat sebagai pengguna.
 
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). 2008.

Penegasan Profesi Bimbingan dan Konseling: Alur Pikir Penataan Pendidikan Profesional Konselor Jurnal PPB Vol. 12. No. 2, Desember 2011
Thoyib, M. 2008. “Mengembangkan Kompetensi Profesional Widyaiswara”. diakses tanggal 25 September 2010).
Usman MU. 1997. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.