BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kedudukan
Konselor sebagai pendidik profesional sebagaimana diatur di dalam pasal 1 ayat
(6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, berimplikasi pada program dan implementasi pendidikan profesional
konselor di tanah air yang mampu menghasilkan konselor profesional, yaitu sosok
konselor yang menguasai standar kompetensi konselor, di samping memenuhi
kualifikasi akademik yang dipersyaratkan sebagaimana diatur di dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang
Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
Program
pendidikan profesional konselor saat ini yang penyelenggaraanya diawali dengan
program Sarjana (S-1) yang belum terintegrasi dengan penyelenggaraan pendidikan
profesi konselor (PPK) oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) versi
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), dan PPG (Pendidikan Profesi
Guru) versi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, mengakibatkan laju perkembangan
profesi bimbingan dan konseling di tanah air, khususnya mengenai penyiapan
Sumber Daya Manusia (SDM) konselor profesional, mengalami kendala yang serius.
Berdasarkan pasal pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2008, bahwa Penyelenggara Pendidikan yang satuan
Pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi dan
kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri paling lambat 5
tahun setelah Peraturan Menteri ini diberlakukan. Karena peraturan Menteri ini
diberlakukan sejak 11 Juni 2008, maka terhitung tanggal 11 Juni 2013 mendatang,
semua lembaga pendidikan SMP, SMA, SMK dan yang sederajat wajib memiliki
konselor.
Konselor
adalah pendidik profesional yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan
bimbingan dan konseling, yang dihasilkan oleh pendidikan profesional konselor.
Menurut naskah Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Pelayanan .
konselor
berperan sebagai pengampu ahli pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan peserta didik sebagai konseli.
Pelayanan itu
meliputi:
(1)
pelayanan informasi,
(3) pelayanan
penempatan dan penyaluran,
(4) pelayanan
konseling individual,
(5) pelayanan
konseling kelompok,
(6) pelayanan
bimbingan kelompok,
(7) pelayanan
konsultasi,
(8) pelayanan
mediasi,
(9) pelayanan
instrumentasi bimbingan dan konseling,
(10) pelayanan
himpunan data,
(11) pelayanan
konferensi kasus,
(12) pelayanan
kunjungan rumah, dan
(13) pelayanan
referal (alih tangan).
Ketiga
belas pelayanan tersebut meliputi dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan
sosial, bimbingan belajar, bimbingan karier, dan bimbingan pengembangan budi
pekerti. Menurut buku penataan pendidikan profesional konselor dan layanan
bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal (Depdiknas, 2007)
pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling sebagaimana di atas, dikelompokkan
ke dalam empat komponen pelayanan, yaitu:
(1)
komponen pelayanan dasar,
(2)
komponen pelayanan responsif,
(3)
komponen pelayanan perencanaan individual, dan
(4)
komponen pelayanan dukungan sistem.
Komponen pelayanan
dasar diberikan
kepada konseli untuk memfasilitasi konseli agar ia dapat melaksanakan
tugas-tugas perkembangannya secara maksimal melalui pelayanan-pelayanan
bimbingan dan konseling yang bersifat klasikal, seperti: pelayanan informasi,
pelayanan orientasi, pelayanan bimbingan kelompok, dan pelayanan pengumpulan
data (penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling),
komponen pelayanan responsif diberikan
kepada konseli untuk membantuk mereka agar mampu menghadapi dan memecahkan
masalah-masalah emosinya (depresi sedang dan ringan, stres sedang dan ringan,
konflik, kecewa, frustrasi, kecemasan, dan ketergantungan/tidak percaya diri),
dimana masalah-masalah emosi tersebut bila tidak segera ditangani, sangat
menganggu pelaksanaan tugas-tugas perkembangan konseli, sehingga ia mengalami
kemunduran (regresi) dalam perkembangannya. Konseli yang mengalami masalah-masalah
emosi, biasanya menunjukkan gejala-gejala sikap dan perilaku yang menghambat
aktivitas belajar konseli, seperti kehilangan motivasi dan minat dalam belajar,
mengalami penurunan daya retensi (kemampuan mengingat), dan daya tahan stresnya
juga mengalami penurunan, sehingga mereka kehilangan produktivitas.
Komponen pelayanan
perencanaan individual, dimaksudkan untuk memfasilitasi konseli dalam membuat
rencana masa depan yang sesuai dengan potensi konseli serta peluang yang
tersedia di masyarakat. Rencana masa depan di sini juga termasuk bagaimana
konseli bisa melakukan pilihan karier yang tepat, sesuai dengan bakat, minat
serta peluang yang ada. Konseli yang normal, akan mampu membuat pilihan
kariernya, yang diwujudkan dengan kemampuannya dalam memilih Jurusan/Program.
model Pendidikan Profesional Konselor Yang
Digagas dan Tantangan Globalisasi
1.
Kondisi Saat Ini
Kurikulum pendidikan S-1 Bimbingan
dan Konseling yang dikembangkan berdasarkan Kepmendiknas Nomor 232/U/2000 dan
Nomor 045/U/2002 yang mengacu kepada konsep pendidikan tinggi abad XXI UNESCO,
yang semula disusun dan ditetapkan oleh pemerintah lewat sebuah Konsorsium
(Kurikulum Nasional), diubah menjadi kurikulum inti yang disusun oleh perguruan
tinggi bersama dengan pemangku kepentingan dan kalangan profesi, dan ditetapkan
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Berdasarkan pasal 38 ayat (3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk setiap program studi.
2.
Pendidikan
Profesional Konselor
Untuk bisa memenuhi
standar kompetensi konselor tersebut di atas, diperlukan model pendidikan
profesional konselor yang terintegrasi, artinya penyelenggaraan program
pendidikan S-1 Bimbingan dan Konseling terintegrasi dengan program pendidikan
profesi konselor (PPK). LPTK yang diberikan izin menyelenggarakan pendidikan
S-1 Bimbingan dan Konseling dan memiliki peringkat Akreditasi minimal B
dilakukan evaluasi, bila layak dari aspek ketenagaan, infrastruktur, dan
manajemen pengelolaan secara langsung diberikan wewenang untuk menyelenggarakan
PPK. Dengan demikian, para guru pembimbing (guru BK) di sekolah-sekolah yang
memiliki kualifikasi akademik S-1 Bimbingan dan Konseling dapat mengikuti PPK
di LPTK
3.
Tantangan Globalisasi
Dalam
era globalisasi dewasa ini, perhatian khusus dalam pendidikan di arahkan untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu sosok SDM yang menguasai
IPTEKS dan berkarakter. Begitu juga dalam profesi Bimbingan dan Konseling, saat
ini dan ke depan pendidikan profesional konselor harus mampu menghasilkan sosok
konselor yang berkompeten, dan berkarakter sebagai insan yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbakat, berminat,
memiliki panggilan jiwa dan idealisme, bertanggung jawab atas tugasnya, dan
mampu mengembangkan profesinya sepanjang hayat.
Konselor profesional
di samping memiliki kompetensi yang diwajibkan, harus mampu mengisi dan
memanfaatkan teknologi informasi sebagai bagian dari profesinya. Mereka mampu
melakukan rekayasa untuk memajukan pelayanan bimbingan dan konseling dengan
memanfaatkan teknologi informasi. Pelayanan bimbingan dan konseling saat ini
dan ke depan sudah saatnya berbasis teknologi informasi (TI) yang bisa
dijangkau masyarakat luas. Wickwire dalam Johnson and Johnson (2002) menyatakan
bahwa konselor masa depan adalah sosok yang memiliki visi berbasis pelayanan,
menguasai sistem tentang;
(1) program,
(2) pelayanan,
(3) isi,
(4) proses,
(5) prosedur,
(6) asesmen,
(7) diagnostik,
(8) evaluasi yang
berdaur ulang, baik evaluasi pada tengah dan akhir pelayanan, dan
(9) memiliki pemahaman
tentang teknologi tinggi untuk menunjang pelayanan bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konselor adalah
pendidik profesional yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan bimbingan
dan konseling, yang dihasilkan oleh pendidikan profesional konselor. Menurut
naskah Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Pelayanan .
konselor berperan sebagai pengampu
ahli pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan peserta didik sebagai
konseli.
·
Pelayanan
itu meliputi:
(1) pelayanan informasi,
(2) pelayanan orientasi,
(3) pelayanan penempatan
dan penyaluran,
(4) pelayanan konseling
individual,
(5) pelayanan konseling
kelompok,
(6) pelayanan bimbingan
kelompok,
(7) pelayanan
konsultasi,
(8) pelayanan mediasi,
(9) pelayanan
instrumentasi bimbingan dan konseling,
(10) pelayanan himpunan
data,
(11) pelayanan konferensi kasus,
(12) pelayanan kunjungan
rumah, dan
(13) pelayanan referal
(alih tangan).
Ketiga
belas pelayanan tersebut meliputi dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan
sosial, bimbingan belajar, bimbingan karier, dan bimbingan pengembangan budi
pekerti. Menurut buku penataan pendidikan profesional konselor dan layanan
bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal (Depdiknas, 2007)
pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling sebagaimana di atas, dikelompokkan
ke dalam empat komponen pelayanan, yaitu:
(1) komponen
pelayanan dasar,
(2) komponen
pelayanan responsif,
(3) komponen
pelayanan perencanaan individual, dan
(4)
komponen pelayanan dukungan sistem.
Komponen pelayanan
dasar diberikan
kepada konseli untuk memfasilitasi konseli agar ia dapat melaksanakan
tugas-tugas perkembangannya secara maksimal melalui pelayanan-pelayanan
bimbingan dan konseling yang bersifat klasikal, seperti: pelayanan informasi,
pelayanan orientasi, pelayanan bimbingan kelompok, dan pelayanan pengumpulan
data (penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling),
komponen pelayanan responsif diberikan
kepada konseli untuk membantuk mereka agar mampu menghadapi dan memecahkan
masalah-masalah emosinya (depresi sedang dan ringan, stres sedang dan ringan,
konflik, kecewa, frustrasi, kecemasan, dan ketergantungan/tidak percaya diri),
dimana masalah-masalah emosi tersebut bila tidak segera ditangani, sangat
menganggu pelaksanaan tugas-tugas perkembangan konseli, sehingga ia mengalami
kemunduran (regresi) dalam perkembangannya. Konseli yang mengalami
masalah-masalah emosi, biasanya menunjukkan gejala-gejala sikap dan perilaku
yang menghambat aktivitas belajar konseli, seperti kehilangan motivasi dan
minat dalam belajar, mengalami penurunan daya retensi (kemampuan mengingat),
dan daya tahan stresnya juga mengalami penurunan, sehingga mereka kehilangan
produktivitas.
Komponen pelayanan
perencanaan individual, dimaksudkan untuk memfasilitasi konseli dalam membuat
rencana masa depan yang sesuai dengan potensi konseli serta peluang yang
tersedia di masyarakat. Rencana masa depan di sini juga termasuk bagaimana
konseli bisa melakukan pilihan karier yang tepat, sesuai dengan bakat, minat
serta peluang yang ada. Konseli yang normal, akan mampu membuat pilihan
kariernya, yang diwujudkan dengan kemampuannya dalam memilih Jurusan/Program.
B.
TANTANGAN BAGI KONSELOR
SEKOLAH DAN PROGRAM KONSELING SEKOLAH
Program konseling sekolah
direncanakan dan dilaksanakan dalam jaringn sekolah yang menetap dalam
masyarakat. Anggota masyarakat mempunyai pandangan berbeda tentang konseling di
sekolah. Akibatnya, para konselor sekolahpun sering mengalami keruwetan dan
tuntutan-tuntutan yang beragam dan begitu kompleks. Tantangan yang sering
dihadapi oleh konselor sekolah adalah pada perdebatan yang berkepanjangan
tentang definisi peran mereka di sekolah. Dalam menggabungkan ketepatan program
dengan peranannya, konselor sekolah dituntut untuk:
1. Memberikan pelayanan
konseling individu dan konseling dalam kelompok kecil.
2.
Mmemberikan
intervensi bimbingan ruang kelas.
3.
Konsultasi
dengan orang tua ,guru, pengurus, dan wakil perantara kelompok.
4.
Memberi
dukungan pada seluruh siswa untuk meningkatkan pengalaman pendidikan dan hasil.
5.
Membangun
hubungan kerjasama dan tim,baik di dalam maupun luar sekolah.
6.
Menjadi
anggota dalam kepemimpinan sekolah dan kelompok pembuat keputusan.
7.
Memberi
layanan secara perorangan, terfokus dan intervensi intensif bagi siswa
bermasalah.
8.
Menjadi
ahli pembangunan dalam tata pengaturan sekolah.
9.
Menjadi
ahli kesehatan mental dalam tata pengaturan sekolah.
10.
Menyediakan
layanan konseling bagi keluarga.
11.
Mengkoordinasi
program-program sekolah, termasuk memberikan bantuan yang setara, melakukan
mediasi, penyelesaian konflik, mencegah kekerasan, pendidikan karakter, dan
program pembinaan guru.
12.
Pencegahan
tindakan bunuh diri, kehamilan, dropout, penggunaan narkoba, dan penyimpangan
moral.
13.
Mempertahankan
mutu-mutu yang diperlukan dalam profesionalitas dalam semua area, termasuk
untuk menjamin kualitas semua program.
Setiap
konselor ideal mempunyai harapan terhadap siswa. Konselor sekolah
mengesampingkan
tekanan-tekanan siswa untuk menunjukkan hubungan dan fungsi-fungsi di luar dugaan.
C.
PENINGKATAN
POPULASI SISWA YANG BERAGAM
Tantangan kedua yang harus
dihadapi konselor sekolah adalah peningkatan populasi siswa yang beragam di
sekolah. Perubahan demografis masyarakat secara luas telah dicatat. Sebagai perubahan yang nyata dalam
pengaturan sekolah, konselor di perbolehkan menggunakan praktek dan teori
kejiwaan dan pendidikan. Pengembangan diperluas, dari pandangan Eurocentrik
dengan tidak memperbolehkan memperlihatkan dunia luar lebih banyak, atau yang
paling baik adalah dengan melakukan pendekatan pada siswa dan keluarganya.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan mutu persoalan ini adalah, bahwa
penyimpangan di sekolah hari-hari ini tidaklah terbatas pada suku bangsa
manapun. Dalam kenyataannya, penyimpangan dapat digunakan untuk menggambarkan
beberapa perbedaan-perbedaan dalam polatingkah laku, orientasi sikap, dan
system-sistem nilai dari setiap siswa (Lee, 2001).
Konselor memerlukan kecakapan
yang lebih dalam melayani siswa secara efektif. Seperti yang diangkat dari
Asosiasi Pengembangan dan Konseling Multikultural. Mereka menunjukkan kemampuan
Konselor dalam tiga dimensi konseling, yaitu: Kepercayaan, Pengetahuan,
Keterampilan yang lebih lanjut diselidiki dalam tiga karakteristik konselor, yaitu
Kesadaran akan keahlian masing-masing konselor dan nilai-nilai, Memahami
berbagai perbedaan kebudayaan tiap klien, Mengembangkan teknik-teknik dan strategi
dalam proses konseling. Hal
ini memungkinkan konselor-konselor sekolah merasa frekuensi pertemuan mereka
dengan siswa di sekolah tidaklah cukup.
D.
MENINGKATNYA
KETERGANTUNGAN TERHADAP TEKNOLOGI
Tantangan ketiga bagi
konselor sekolah adalah adanya peningkatan di bidang teknologi. Kemajuan
teknologi memberikan kesempatan yang luas untuk membuat dunia kerja berjalan
dengan efektif dan efisien dan bagi konseling sekolah dapat mengambil
keuntungan pada bidang teknologi dalam pelayanan dan pengembangan program
konseling sekolah agar lebih baik (Baker & Geler, 2000). Computer dan
internet memiliki potensial yang digunakan untuk membantu macam-macam tugas
konseling. Sebagian besar konselor yang mempunyai kemampuan teknologi yang
terbatas,hanya menggunakan komputer untuk tugas yang dasar seperti membuat
jadwal dan memproses data-data siswa.
Tidak terdapat cukup bukti
untuk memahami secara penuh bagaimana teknologi mempengaruhi hubungan antara
konselor dan klien, hingga diketahui lebih lanjut, teknologi yang seharusnya
diterapkan dalam situasi-situasi yang membutuhkan perhatian (Sampson, 2000).
Perhatian lainnya, bahwa konselor membolehkan siswa untuk mengeksplorasi karir
dan penilaian diri yang terarah tanpa pengawasan atau perintah yang tepat
(Sampson, 2000).
Kerahasiaan merupakan masalah penting lainnya yang muncul karena ketergantungan pada teknologi.
Kerahasiaan merupakan masalah penting lainnya yang muncul karena ketergantungan pada teknologi.
Secara konsep,
program-program bimbingan sekolah secara historis berkaitan dengan hasil-hasil
siswa yang diinginkan (Lapan, 2001). Saat ini, para pegawai tata usaha, dan
para anggota dewan meminta peningkatan bukti yang mendukung keefektifan dari
program-program yang didanai, para konselor tidak kebal akan itu. Sebagai
gantinya, mereka diminta untuk menunjukkan data yang menunjukkan hasil-hasil
yang positif yang berhubungan dengan misi sekolah, termasuk informasi yang
berhubungan dengan kelas, pola-pola pembelajaran, nilai-nilai tes, kehadiran,
dan acuan-acuan perilaku.
Lapan (2001) mengemukakan
bahwa “perkembangan berkesinambungan profesi tergantung
pada kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan”,
antara lain:
1.
Bagaimana
peran, kewajiban, fungsi-fungsi, dan campur tangan konselor dapat diubah lebih
besar dan berpengaruh pada semua siswa?
2.
Bagaimana
waktu konselor dapat didistribusikan kembali pada tugas untuk memaksimalkan
keuntungan bagi semua siswa?
3.
Bagaimana
suatu program dapat menuju arah yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhn
masing-masing sekolah?
4.
Apakah
program dari pusat dapat mengesampingkan misi dari masing-masing sekolah?
5.
Bagaimana
agar hubungan antara personal sekolah, orangtua, dan pemimpin masyarakat dapat
lebih baik?
6.
Bagaimana
para konselor bisa lebih baik dalam mendukung program-program mereka dengan
membuat kebijakan lokal dan nasional?
Ini adalah pertanyaan
kompleks yang menantang konselor sekolah untuk mengembangkan rencana mereka
sendiri dan pertanggungjawaban program mereka, tidak hanya untuk memuaskan
konsumen, tapi juga untuk mengefektifkan pertemuan kebutuhan dari kebutuhan
murid serta memfasilitasi belajar.
MENJADIKAN TANTANGAN MENJADI SEBUAH KESEMPATAN
Ketika sebuah tantangan tidak
memberikan ketuntasan, hal ini menunjukkan kerumitan masalah yang dihadapi oleh
konselor sekolah di abad ke 21. Dalam kenyataannya, sejarah bimbingan sekolah
memberikan latar belakang yang bermanfaat bagi program yang kolaboratif, berkembang,
dan menyeluruh saat ini.
Memiliki kerangka kerja yang
terstruktur dalam menempatkan, mengantisipasi dan menggabungkan perubahan juga
merupakan poin-poin terhadap potensi masa depan yang lebih baik (Gysbers &
Henderson, 2001). Harapan ini digaungkan dalam editorial Konseling Sekolah
Profesional baru-baru ini (Hughey, 2001) yang dinyatakan sebagai berikut:
panduan dan program-program bimbingan yang menyeluruh telah memberikan sebuah
kerangka kerja yang lebih jelas dari program-program tersebut.
Memenuhi tantangan tersebut,
bimbingan sekolah memiliki kesempatan untuk meyakinkan konselor sekolah agar
mendapatkan keahlian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para siswa,
membangun identitas profesional yang lebih kuat, melaksanakan program bimbingan
yang lebih tepat, dan menjadi lebih bertanggung jawab terhadap program-program
yang telah mereka buat.
Perubahan tantangan tersebut
menjadi kesempatan agar konselor, pendidik, dan pengawas
konselor di sekolah
bekerjasama untuk:
Menentukan peranan dan
wilayah-wilayah yang tepat pada fokus program
Merancang dan ikut terlibat
dalam perkembangan professional
MenunjukkanØ
hasil pertanggungjawaban
MENENTUKAN PERAN DAN WILAYAH
YANG TEPAT DENGAN TUJUAN PROGRAM
Konselor sekolah yang profesional memiliki banyak sejarah dalam mengenali perubahan-perubahan sosial, perubahan kebutuhan, dan mengubah layanan untuk memenuhi kebutuhan. Konselor sekolah harus siap untuk beradaptasi dengan prioritas dan campur tangan mereka guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tengah berubah, pada saat yang sama mereka
Konselor sekolah yang profesional memiliki banyak sejarah dalam mengenali perubahan-perubahan sosial, perubahan kebutuhan, dan mengubah layanan untuk memenuhi kebutuhan. Konselor sekolah harus siap untuk beradaptasi dengan prioritas dan campur tangan mereka guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tengah berubah, pada saat yang sama mereka
harus menjaga tujuan dan misi
mereka (Herr, 2001).
Konselor sekolah serta guru
bimbingan dan konseling harus bekerja secara kolaboratif agar bisa
mengidentifikasikan dan menanggapi kebutuhan siswa secara efektif. Program
bimbingan dan konseling bertumpu pada keikutsertaan proaktif yang berhubungan
dengan pendekatan kolaboratif yang berkembang, dan menyeluruh. Kerangka kerja
tersebut cukup luas untuk mengantisipasi perubahan. Hal ini cukup fleksibel
untuk menggabungkan beragam alasan-alasan, anggapan, kegiatan, langkah-langkah,
dan penggunaan waktu bimbingan (Gysbers dan Henderson,2001).
Standar Nasional
Program-program Bimbingan Sekolah (Campbell & Dahir, 1997) memperkuat
kedudukan bahwa penasihat sekolah memiliki kesepakatan yang diterima secara
luas tentang prioritas-prioritas programnya. Konselor sekolah membentuk
program-program mereka selama abad 21. Akan banyak campur tangan dari
komponen-komponen penting yang dapat diterapkan. Hal ini akan mendorong pada
situasi kritis, konselor sekolah diharapkan menyadari bahwa mereka tidak bisa
melakukan semuanya dan mereka hanya bisa melakukan sedikit hal ketika
sendirian. Kerjasama bukanlah hal yang baru bagi konselor sekolah, tetapi hal
ini tampak sangat tidak terfasilitasi. Bimbingan sekolah, seperti halnya
pelayanan masyarakat profesional lainnya, dipersiapkan secara tertutup, dengan
penekanan pada perbedaan-perbedaan antara pekerjaan-pekerjaan dan
kekhususan-kekhususan (Osborne & Collison, 1998).
Konselor sekolah tidak dapat
bekerja sendirian. Saat ini di sekolah, terdapat cukup pembimbing sekolah untuk
menangani kebutuhan-kebutuhan para siswa (Walsh dkk, 1999), dan tidak ada
alasan untuk menganggap kecenderungan ini akan berubah dalam waktu dekat. Para
guru pembimbing dapat berhubungan dengan personel sekolah lainnya, guru, orang tua,
dan penasihat serta pemimpin masyarakat sehingga mereka bisa menggabungkan
usaha-usaha
mereka dan memenuhi kebutuhan
para siswa secara kolektif.
PENGEMBANGAN PROFESI
Perkembangan profesionalitas
bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, dan ini tidak kita dapatkan di
jenjang pendidikan,faktanya pendidikan hanya sebuah awal. Menjadi konselor
sekolah yang baik membutuhkan proses panjang,dan prose situ masih terus
berlanjut meski telah menyelesaikan pendidikan formal. sebagai profesional yang
mengidentifikasi pekerjaan mereka, meskipun demikian terdapat sedikit fokus
pada perkembangan profesional setelah lulus baik dalam kepustakaan profesional
atau dalam kebijakan (Brott & Myers, 1999).
Perkembangan keahlian profesional konselor sekolah adalah sebuah pembelajaran tentang keterampilan khusus yang nantinya menambah keefektifan seorang konselor dalam
Perkembangan keahlian profesional konselor sekolah adalah sebuah pembelajaran tentang keterampilan khusus yang nantinya menambah keefektifan seorang konselor dalam
menangani konseli.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peran pendidikan
dalam rangka mencerdaskan bangsa sangat penting dan memiliki posisi yang
strategis. Tidak ada suatu bangsa di dunia yang tidak membutuhkan pendidikan.
Begitu juga bangsa Indonesia yang masih berstatus sebagai negara berkembang,
saat ini dan ke depan membutuhkan sistem pendidikan yang berkualitas dan
bermartabat. Salah satu aspek yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu adalah terpenuhinya tenaga pendidik yang berkompeten dan
berkarakter. Konselor sebagai pendidik profesional, saat ini dan ke depan
memiliki peran yang sangat penting dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
Konselor sebagai pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang
memandirikan konseli turut perperan dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan
nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Untuk menjadikan konselor profesional yang mampu
memberikan pelayanan bimbingan dan konseling yang bermutu dan bermartabat baik
pada jalur pendidikan formal maupun di masyarakat, diperlukan pendidikan
profesional konselor yang bermutu pula dengan dukungan pemerintah, organisasi
profesi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) dan masyarakat
sebagai pengguna.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia (ABKIN). 2008.
Penegasan Profesi
Bimbingan dan Konseling: Alur Pikir Penataan Pendidikan Profesional Konselor Jurnal PPB Vol. 12.
No. 2, Desember 2011
Thoyib, M. 2008. “Mengembangkan
Kompetensi Profesional Widyaiswara”. diakses tanggal 25 September 2010).
Usman MU. 1997. Menjadi Guru
Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.